APA KABAR PENDIDIKAN?
Part II
Dalam rangka memajukan umat
manusia dalam sebuah Negara , memberantas kebodohan akibat kebudayaan
terbelakang sebuah masyarakat maka harus ada suatu formula atau alat kebudayaan
maju yang anti mitos dan takhayaul .” itulah pendidikan” (Peng;kitab bawah
tanah)
Tetapi apakah betul
pemerintah saat ini sudah membebaskan biaya pendidikan? Espektasi akan
terbangunnya bangsa yang cerdas “seperti amanat UUD 1945” dengan tatanan
masyarakat yang maju secara ekonomi, politik dan kebudayaan dan tercermin dalam
penghidupan yang adil, sejahtera dan berdaulat, sampai saat ini belum bisa
terwujud. Sebab kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat
jauh dari harapan untuk dapat diabdikan bagi kepentingan Rakyat. Pendidikan
saat ini, lebih diorientasikan pada kepentingan pasar semata dan, terbukti
tidak pernah mampu menjawab persoalan rakyat Justru rakyat Indonesia dihambat
dengan biaya yang sangat besar sebelum masuk ke pendidikan tinggi.Secara
umum, biaya pendidikan tinggi diseluruh Indonesia saat ini mulai dari Rp.
700.000 hingga Rp. 200 juta. Biaya yang relatif lebih tinggi, terutama
didasarkan pada program study atau jurusan-jurusan khusus (Ex. Kedokteran atau
jurusan kesehatan lainnya, Vokasi, dll). Pendidikan yang mahal ternyata
juga tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data
BPS, hingga Februari 2018 jumlah penduduk yang bekerja mencapai 107,41 juta
orang dari 116 juta angkatan kerja di Indonesia. Maka jumlah pengangguran
mencapai 8,59 juta orang atau sekitar 7,41%. Dan berdasarkan identifikasi yang
dilakukan BPS, yang bekerja di sektor formal hanya sebanyak 33,74 juta orang
atau 31,42%, sedangkan bekerja pada sektor informal mencapai 73,67 juta orang
atau 68,58%. Maka jumlah pengangguran di Indonesia bisa saja lebih dari 8,59
juta orang karena yang bekerja di sektor informal jauh lebih besar, yang bisa
kapan-kapan saja kehilangan pekerjaannya.Begitupun dengan jumlah pengangguran
terdidik yang masih sangat besar. Dari jumlah penduduk yang bekerja, sebesar
55,31 juta orang atau 51,50% adalah yang berpendidikan SD ke bawah, SMP 20,30
juta atau 18,9%, SMA 15,63 juta atau 14,5%, SMK 8,34 juta atau 7,8%, sedangkan
Diploma I, I, III 2,89 juta atau hanya 2,7%, dan Sarjana 4,94 juta atau hanya
4,6%. Berdasarkan data Bapenas 2012, diantra 237,6 juta penduduk indonesia,
26,8% atau 64 juta jiwanya adalah remaja dengan usia 15-24 tahun Hal ini
dapat kita lihat dengan tingkat akses pendidikan tinggi di Indonesia yang masih
terbilang sangat rendah hanya 4,2 juta jiwa (BPS 3 januari 2018 ) dari
sekitar 25 juta jiwa pemuda (usia 18-25) yang layak kuliah.
Perdagangan pendidikan
oleh World Trade Organization (WTO)
Melalui GATS-WTO
sebagai salah satu skema penghisapannya yang mengikat bagi seluruh Negara
anggotanya dalam aspek perdagangan, telah menjalankan skema liberalisasi-nya
tidak hanya dalam aspek perdagangan, namun juga menarik sejumlah sektor publik
kedalam sektor jasa atau yang lebih tepatnya dari sektor publik ke sektor
privat. sehingga dapat diperdagangkan dan memberikan keuntungan yang melimpah.
Dibawah kesepakatan General Agreement on Trade and Service (GATS-WTO), WTO
telah meletakkan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa, berdampingan dengan
kesehatan dan teknologi informasi dan komunikasi yang tentunya sangat
menjanjikan keuntungan yang melimpah. Sejak tahun 1980an, liberalisasi
pendidikan telah memberikan kontribusi yang tinggi bagi produk domestik bruto
(PDB) negara-negara maju. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar
dari liberalisasi pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris dan
Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hh 104-105).
Pada tahun 2000 ekspor
jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 triliun. Di
Inggris pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari
penerimaan sektor jasa negaranya. Sementara, ekspor jasa pendidikan dan
pelatihan Australia telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta
tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut berjuang keras
meliberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Secara khusus, pemerintah
Indonesia, sebagai Negara anggota pendiri WTO kemudian dengan segera melakukan
ratifikasi atas seluruh kebijakan dalam WTO dengan menerbitkan Undang-Undang
No.7 Tahun 1994, tanggal 2 Nopember 1994, tentang pengesahan “Agreement
Establishing the World Trade Organization”.Tahun 2001 pemerintah Indonesia
kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama
tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dimana pendidikan
dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas (barang dagangan). Dengan
demikian para investor bisa menanamkan modalnya disektor pendidikan (terutama
untuk Pendidikan Tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal
lahirnya berbagai kebijakan undang-undang di sektor pendidikan yang jauh dari
kebutuhan rakyat Indonesia, seperti UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Maret 2010. Disahkannya
Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) pada tanggal 13 Juli 2012 oleh DPR-RI
serta penerapan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT)
semakin melegitimasi adanya komersialiasi pendidikan tinggi, pelepasan tanggung
jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan berdampak pada semakin
rendahnya akses pendidikan tinggi yang mampu dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Bagaimana
Peran Pemerintah atau dalam hal ini Rezim Jokowi-Jk Dalam keberlangsungan Dunia
Pendidikan?
“Dalam pertemuan dengan
perbankan nasional, saya juga sudah menantang perbankan kita untuk mengeluarkan
produk kredit pendidikan atau kalau di Amerika biasa dinamakan 'student loan',”
kata Jokowi. Presiden menuturkan, perbankan di Amerika mengeluarkan jumlah
kredit pendidikan lebih besar dari total pinjaman bagi kartu kredit (student
loan, baca part I) . Menurut Jokowi perbankan Indonesia bisa mencontohnya guna
memperbaiki taraf pendidikan di dalam negeri.
Jokowi berharap, rumusan kebijakan peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dapat rampung pada akhir
Maret 2018. “Sehingga betul-betul ada sebuah perubahan besar dari
infrastruktur, investasi di bidang infrastruktur, kemudian masuk ke pekerjaan
besar yang berikutnya yaitu investasi di bidang sumber daya manusia,” kata
Jokowi.( tirto.id)
Maka bisa dikatakan pemerintah
belum serius dalam menanggapi sektor pendidikan. logika pemerintah yang lebih
mementingkan sektor infrastruktur adalah bukti bahwa pemerintah dalam hal ini
tunduk terhadap dikte kapitalisme monopoli dunia. Pelayanan maksimal terhadap
investasi adalah wujud bagaimana rezim membiarkan dunia pendidikan semakin lama
terjerembab dalam skema liberalisasi. Tidak ada upaya yang konkrit dari
pemerintah untuk mengatasi permasalahan pendidikan. Rezim jokowi malah kemudian
tetap melanggengkan skema komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi
pendidikan. Kebebasan akademik yang kemudian di hambat oleh pemerintah lewat
banyak instrumen kebijakan. Perpu ormas atau pelarangan organisasi yang dianggap
ekstra di kampus kini masih menjangkit
dalam dunia pendidikan kita. Pembubaran-pembubaran paksa aksi mahasiswa di
kampus maupun di luar kampus yang berujung pada kekerasan sering kali di hadapi
oleh gerakan mahasiswa atau gerakan Rakyat dalam menuntut hak-hak
demokratisnya. Dalam pertemuan FRI ( FORUM REKTOR INDONESIA) di kampus Sultan Hasannudin Makasar
(15/2/2018) Di lansir dari media lokal setempat dalam pidatonya Presiden juga
meminta perguruan tinggi mulai membuka fakultas dan program studi baru yang
sesuai dengan kebutuhan industri. Menurutnya kuncinya adalah relevansi dan
inovasi, jangan terjebak rutinitas. Ia mencontohkan perguruan tinggi dapat
membuka Fakultas Digital Economy, Fakultas Jasa Industri, Manajemen Industri
dalam Olahraga. Fakultas Industri Lifestyle, Fakultas Perkebunan jurusan Kelapa
Sawit atau bahkan Fakultas Kopi. Miris dan ironis, maka kemudian lebih
menguatkan kita bahwa pemerintah sengaja membuat sebuah rencana untuk
pendidikan yang orientasi adalah menciptakan peserta didik untuk siap
menghadapi dunia kerja. Sembari menciptakan iklim pendidikan yang kompetitif
lewat kurikulumnya demi terpenuhinya pasar tenaga kerja yang nanti akan diperuntukkan bagi perusahaan
milik kapitalis monopoli yang siap diupah dengan upah yang murah atau sering
disebut labour market flexibility. . dengan
ini pendidikan sudah kehilangan esensi dan orientasi nya.
Bagaimana
Sikap Kita?
WTO sebagai salah satu
instrumen kapitalisme monopoli dalam mendominasi negara-negara bergantung
diseluruh dunia justru telah menyebabkan penderitaan yang demikian hebat bagi rakyat.
Rakyat semakin terjerat dalam kemiskinan dan berbagai bentuk keterbelakangan
secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Sektor pendidikan yang turut di liberalisasi
menjadi sektor jasa melalui kesepakatan GATS-WTO tidak hanya telah menjadi
mesin pemeras rakyat dalam aspek ekonomi yang menyebabkan mahalnya biaya
pendidikan yang harus ditanggung oleh rakyat, namun dibawah kesepakatan yang
mengikat tersebut juga telah mengubah haluan orientasi pendidikan melalui
kurikulum yang tidak menjamin perkembangan kebudayaan rakyat. Pendidikan
diorientasikan hanya untuk mencetak tenaga-tenaga kerja siap pakai dengan skill
dan ilmu pengetahuan rendah yang hanya diabdikan untuk memenuhi kebutuhan pasar
tenaga kerja. Dengan penghisapan dan berbagai kerusakan yang telah diciptakan
kapitalisme monopoli internasional.
Panggih Wildhan Akhbar
(Anggota FMN Cabang Yogyakarta)
Komentar
Posting Komentar