"Rakyat Bersatu Melawan Liberalisasi, Privatisasi, Dan Komersialisasi Pendidikan"
Pendahuluan
Pada 2 Mei 2018, rakyat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal 2 Mei dipilih sebagai Hardiknas sekaligus menghormati Ki Hajar Dewantara selaku Bapak Pendidikan Indonesia yang juga lahir pada tanggal yang sama. Salah satu sumbangan pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan dan pengajaran yang bertujuan untuk memerdekakan manusia secara lahir dan batin. Pemikiran ini menjadi salah satu bekal bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bisa kita bayangkan bahwa tanpa pendidikan, bangsa Indonesia ini tidak akan merdeka sepenuhnya.
Dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945, berbunyi ketentuan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Adapun hak ini lahir dari tujuan negara yang diamanatkan pembukaan UUD 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Perihal frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa,” Mahkamah Konstitusi selaku lembaga negara yang berfungsi menafsirkan UUD 1945 pernah menafsirkan hal tersebut sewaktu pengujian UU BHP. Mahkamah menafsirkan bahwa negara harus melindungi, memajukan, dan menegakkan pemenuhan hak atas pendidikan sebagai hak asasi manusia.
Pendidikan sebagai hak asasi manusia telah diakui secara internasional dalam Kovenan HAM Internasional 1966 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenent on Economics, Social, and Cultural Rights), yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam UU No. 11 tahun 2005. Pada kovenan tersebut, diatur bahwa :
Pasal 13
Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh:
1.) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara gratis bagi semua orang;
2.) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
3.) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
Realitanya
Dalam penerapannya, pemerintah Indonesia belum secara penuh menjamin hak atas pendidikan. Angka Partisipasi Kasar masyarakat dalam mengakses perguruan tinggi baru sebesar 31,1%. Padahal terdapat 4.550 jumlah perguruan tinggi di Indonesia baik itu negeri maupun swasta. Data dari BPS per Agustus 2017 juga menunjukkan bahwa mayoritas angkatan kerja ternyata masih lulusan SD dan SMP.
Dengan capaian aksesibilitas yang masih rendah, sudah sepantasnya pemerintah memberi perhatian lebih pada pendidikan. Kemudian pada bulan Maret 2018, Presiden Jokowi mengatakan bahwa saat ini pemerintah tengah mengerjakan program investasi ke bidang sumber daya manusia, melanjutkan pekerjaan investasi di bidang infrastruktur. Adapun wujud dari investasi sumber daya manusia adalah lewat penyelenggaraan pendidikan. Namun ternyata maksud dari investasi pendidikan tersebut adalah menjadikan pendidikan sebagai ladang investasi, atau dengan kata lain dijadikan bisnis. Salah satu program yang dicanangkan Presiden Jokowi adalah Kredit Pendidikan atau Student Loan. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki biaya, diberikan opsi untuk meminjam dana dengan bunga kisaran 6% kepada bank yang bekerja sama dengan perguruan tinggi. Padahal semestinya jika memang ada mahasiswa yang kesulitan biaya, maka menjadi tugas pemerintah untuk membantunya, bukan malah mengarahkan untuk berutang pada pihak bank.
Selain persoalan Kredit Pendidikan, di lembaga pendidikan juga masih kerap mengalami masalah biaya kuliah yang semakin mahal. Di Yogyakarta saja, biaya kuliah rata-rata mengalami kenaikan sejak 2014 menjadi 53% pada program diploma dan 18% pada program sarjana (tirto.id). Selain mahal, praktek pungutan liar yang tidak jelas pertanggungjawabannya juga masih kerap terjadi dan menguras biaya. Kampus masih cenderung tertutup soal transparansi keuangannya.
Di saat kampus memungut biaya besar, ternyata nasib dosen kontrak dan tenaga kependidikan tidak lantas menjadi sejahtera dan mendapat upah sesuai dengan haknya. Berbagai beban teknis seperti membuat laporan dan wajib kehadiran menggunakan finger print membuat tenaga pengajar cenderung mengajar sekedar formalitas belaka. Presensi wajib hadir perkuliahan 75% di perguruan tinggi misalnya, membuat dosen dan mahasiswa menjadi terjebak pada formalitas belajar-mengajar. Motivasi datang ke kelas bukan karena minat belajar, tapi pada ancaman tidak bisa ikut ujian. Dosen pun menjadi tidak termotivasi untuk meng-update bahan ajarnya karena dengan bahan ajar yang biasa-biasa saja pun, mahasiswa pasti akan memenuhi ruang kelasnya. Tugas kuliah juga cenderung monoton seperti laporan praktikum yang biasanya dibuat dengan menyalin laporan praktikum terdahulu, atau tugas membuat makalah yang tidak jelas output-nya mau dikemanakan. Hanya menjadi tumpukkan tugas yang disetor ke dosen dan kehilangan makna. Bahkan skripsi dan tugas akhir yang menumpuk di perpustakaan ternyata malah dijual ke tukang barang bekas (tukang loak) karena dianggap sampah.
Dunia pendidikan pun rentan dengan tindakan kekerasan. Entah itu kekerasan fisik, verbal, bahkan kekerasan seksual. Entah itu di sekolah maupun di perguruan tinggi. Pelakunya bisa guru, dosen, maupun sesama peserta didik. Padahal lembaga pendidikan seharusnya menjadi teladan dan contoh bagi masyarakat bagaimana norma-norma masyarakat beradab diterapkan.
Lembaga pendidikan juga masih belum mampu menjadi sarana untuk meluapkan kebebasan akademik. Berkali-kali diskusi dan kegiatan ilmiah di kampus justru dibubarkan oleh pihak kampus itu sendiri, bahkan tidak jarang menggunakan aparat kepolisian dan oknum masyarakat yang disetir untuk membuat kegaduhan. Padahal kampus seharusnya memfasilitasi wacana apapun secara akademik. Ketika ada suatu pihak yang tidak sepakat atas suatu wacana, kampus menjadi tempat untuk mendebatkan wacana tersebut secara ilmiah.
Kaum pelajar di sekolah juga dibebani oleh sistem belajar yang memberatkan. Sistem full day school membuat mereka harus bersekolah hingga jam 3 sampai 4 sore, dari senin sampai jumat, dan di beberapa sekolah ada yang senin sampai sabtu. Mereka banyak kehilangan waktu bersama keluarga, waktu bermain, dan termasuk waktu untuk mengenal masyarakat di sekitarnya sebagai sarana tumbuh kembangnya. Namun di sisi lain, pemerintah juga belum dapat menjamin kota sebagai ruang yang aman bagi anak. Lapangan bermain anak milik publik semakin berkurang, dan diganti dengan perhotelan yang semakin masif. Ruang jalan untuk bersepeda juga tak lagi ramah karena makin padatnya arus lalu lintas Yogyakarta yang sesak dengan mobil pribadi.
Berbagai bentuk-bentuk penerapan penyelenggaraan pendidikan di atas merupakan skema dari komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Tanggung jawab negara atas beban biaya pendidikan secara bertahap mulai dilepas, dan dibebankan kepada individu. Adapun individu peserta didik dari kalangan yang tidak mampu akan kesulitan untuk bisa mengakses biaya pendidikan yang cenderung semakin mahal. Kemudian lembaga pendidikan pun juga telah berperan tak ubahnya seperti pabrik yang menuntut peserta didik untuk disiplin tapi tidak mendukung perkembangan kreatifitas. Anak-anak kaum tani di pedesaan pun sudah makin jarang yang mau melanjutkan tradisi bertani, karena sekolah cenderung menggiring peserta didiknya agar setelah lulus dapat bekerja di perusahaan besar atau menjadi PNS. Lembaga pendidikan dijadikan tempat untuk mencetak calon-calon buruh dalam jumlah banyak, dapat diupah murah, dan siap menjadi tenaga-tenaga industrial. Kita telah dapat melihat siapa yang sebenarnya diuntungkan dari skema pendidikan seperti di atas.
Atas dasar penjelasan di atas, kami menyadari bahwa pendidikan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Harus dilakukan usaha sadar bersama untuk menyelamatkan pendidikan di Indonesia. Sudah saatnya rakyat Indonesia menuntut adanya perubahan sistem pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu, kami Front Perjuangan Rakyat (FPR) Yogyakarta menuntut :
1.Tolak program kredit pendidikan (student loan);
2.Hentikan pungutan di luar UKT dan SPP (pungutan liar) pada perguruan tinggi dan sekolah;
3.Turunkan biaya UKT dan SPP;
4.Hapus penerapan sistem full day school;
5.Sejahterakan dan penuhi hak-hak tenaga kependidikan, guru honorer, dan dosen kontrak;
6.Tolak kewajiban kehadiran 75% pada perkuliahan di perguruan tinggi;
7.Berikan transparansi keuangan pendidikan;
8.Libatkan mahasiswa dalam segala pembuatan kebijakan kampus;
9.Hentikan segala bentuk diskriminasi dalam dunia pendidikan;
10.Hentikan, usut, dan adili segala bentuk pelecehan seksual di dunia pendidikan;
11.Hentikan kontaminasi politik praktis dalam dunia pendidikan;
12.Tolak segala bentuk perampasan ruang gerak mahasiswa dan pelajar sebagai akibat dari kebijakan kurikulum;
13.Tolak intervensi TNI dan Polri dalam dunia pendidikan;
14.Tolak segala bentuk monopoli yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan;
15.Perbaiki kualitas tenaga pendidik;
16.Ciptakan kurikulum yang pro rakyat;
17.Realisasikan wajib belajar 12 tahun bagi seluruh rakyat secara gratis;
18.Wujudkan anggaran pendidikan 20% di luar gaji guru, dosen, dan karyawan;
19.Revisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
20.Cabut UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
21.Wujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat.
Demikian brosur peringatan hardiknas 2018 ini kami sampaikan. Terima kasih telah membaca tulisan ini sampai habis. Ayo kita perjuangkan pendidikan di Indonesia.
Front Perjuangan Rakyat (FPR) Yogyakarta
Erlangga HB
Kordinator
BalasHapusSaya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)