Pendidikan Sebagai Hak Asasi Manusia
Pada 2 Mei nanti, bangsa Indonesia akan
memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal 2 Mei dipilih
sebagai Hardiknas sekaligus menghormati Ki Hajar Dewantara selaku Bapak
Pendidikan Indonesia yang juga lahir pada tanggal yang sama. Salah satu
sumbangan pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan dan pengajaran yang
bertujuan untuk memerdekakan manusia secara lahir dan batin. Pemikiran ini
menjadi salah satu bekal bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Uniknya,
2 Mei ini juga adalah tanggal wafatnya Paulo Freire, salah seorang tokoh
pendidikan yang mendunia, yang melahirkan pemikiran bahwa tujuan dari
pendidikan adalah memanusiakan manusia. Meskipun Ki Hajar Dewantara dan Paulo
Freire mewakili zaman yang berbeda, namun keduanya punya warisan pemikiran yang
masih relevan bagi dunia pendidikan dewasa ini.
Tapi tulisan kali ini tidak akan membahas
lebih jauh pemikiran tentang Ki Hajar Dewantara maupun Paulo Freire. Kita akan
membahas tentang pendidikan sebagai hak asasi manusia. Tulisan ini sengaja
dimunculkan karena pendidikan hari ini tidak selalu dimaknai sebagai hak asasi
manusia. Pada bulan Maret 2018, Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa saat
ini pemerintah tengah mengerjakan program investasi ke bidang sumber daya
manusia, melanjutkan pekerjaan investasi di bidang infrastruktur. Adapun wujud
dari investasi sumber daya manusia adalah lewat penyelenggaraan pendidikan.
Mungkin ada yang menanggapi langkah Presiden Jokowi tersebut sebagai hal yang
positif. Tapi sebelum kita terburu-buru menilai, baiknya kita selidiki terlebih
dahulu, apa makna dari pendidikan sebagai investasi.
Ketika mendengar kata pendidikan sebagai
investasi, hal tersebut bukanlah konsep yang baru. Milton Friedman dalam
tulisannya The Role of Government in
Education yang ditulis pada 1955 pernah pula mengatakan demikian. Menurut
Friedman, pendidikan (dalam hal ini mengacu pada perguruan tinggi) dapat
dimaknai sebagai investasi, seperti halnya seseorang berinvestasi pada mesin,
gedung, atau hal-hal lain yang biasa diinvestasikan. Melalui investasi,
seseorang berharap akan mendapat keuntungan dari usaha yang ia investasikan.
Begitu juga pada pendidikan. Bedanya, seseorang yang menanamkan modal pada
pendidikan bermaksud untuk mengembangkan produktifitas ekonominya. Orang yang
terdidik bisa memperoleh penghasilan yang lebih baik karena telah memiliki
keterampilan dan pengetahuan untuk mengerjakan hal-hal yang lebih produktif.
Atas dasar pikir tersebut, Friedman memandang
bahwa karena yang mendapatkan manfaat dari investasi sumber daya manusia adalah
individu, maka itu menjadi urusan individu, yang beban biaya dan resikonya
ditanggung secara individual. Karena merupakan urusan individu, maka negara
sebisa mungkin menjauh dari urusan tersebut. Hubungan antara individu dengan lembaga
penyedia jasa pendidikan adalah hubungan yang sifatnya kontraktual, pembeli
jasa di satu pihak, dan penyedia jasa di pihak lain. Pihak-pihak lain yang
memiliki modal pun bisa juga terlibat pada investasi ini, semisal pihak bank
dengan mengadakan Kredit Pendidikan atau Student
Loan yang disertai dengan bunga sebagai keuntungan bagi pihak bank.
Ketika pemerintah Indonesia memandang
pendidikan sebagai investasi, apakah hal ini mengacu pada pemikiran Friedman? Kami tidak tahu. Bangsa
ini tidak harus sepakat dengan pemikiran Friedman. Pandangan bangsa Indonesia
atas pendidikan dapat dilihat dari hukum dasar bangsa ini, yaitu Undang-Undang
Dasar 1945.
Dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945, berbunyi
ketentuan, “Setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan.” Adapun hak ini lahir dari tujuan negara yang
diamanatkan pembukaan UUD 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Perihal
frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa,” Mahkamah Konstitusi selaku lembaga
negara yang berfungsi menafsirkan UUD 1945 pernah menafsirkan hal tersebut
sewaktu pengujian UU BHP. Mahkamah berpendapat sebagai berikut :
“Tanggung jawab negara untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa justru memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur
berbagai aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan baik menyangkut
sistem maupun penganggarannya.
Dalam
melaksanakan tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa” tersebut, pemerintah
memegang peranan yang penting. Mari kita simak penafsiran MK yang satu ini :
“Tugas
mencerdaskan kehidupan bangsa dihubungkan dengan fungsi perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak untuk mendapat
pendidikan, sebagai tanggung jawab negara terutama pemerintah, sesuai dengan
ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, sebagai suatu tugas publik.”
Sebagai tugas publik, negara harus memastikan
setiap warga negara mendapat pemenuhan hak atas pendidikan sebagai hak asasi
manusia. Pendidikan sebagai hak asasi manusia telah diakui secara internasional
dalam Kovenan HAM Internasional 1966 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenent on Economics, Social,
and Cultural Rights), yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
dalam UU No. 11 tahun 2005. Pada kovenan tersebut, diatur bahwa :
Pasal
13
Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa
untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh:
1. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara gratis bagi semua orang;
2. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan
teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka
bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan
pendidikan gratis secara bertahap;
3. Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata
atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui
pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
Menurut Katarina Tomasevski, seorang mantan
Special Rapporteur PBB di bidang hak atas pendidikan, bahwa hak asasi manusia
adalah penjaga dari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemerintah. Penyangkalan terhadap hak atas
pendidikan menjadi pemicu tereksklusikannya seseorang dari kesempatan kerja,
marginalisasi ke sektor informal, dibarengi dengan eksklusi dari skema jaminan
sosial dan sebagainya. Mengatasi ketimpangan sosial ekonomi dan kesempatan
mencari penghidupan yang layak, tidak mungkin dilakukan tanpa mengakui dan
memenuhi hak atas pendidikan. Demikian pula banyak problem sosial, ekonomi,
budaya dan politik yang tidak dapat dipecahkan, kecuali dengan menyelesaikan
persoalan hak atas pendidikan ini, sebagai kunci untuk membuka pemenuhan
hak-hak asasi manusia lainnya.
Karena pendidikan merupakan hak asasi manusia,
maka adalah menjadi kewajiban negara untuk menghormati (to respect) dan
memenuhi (to fulfil) hak sosial, ekonomi, politik merupakan kewajiban
atas hasil (obligation to result) dan bukan merupakan kewajiban untuk
bertindak (obligation to conduct) sebagaimana pada hak sipil dan
politik. Kewajiban negara dalam arti “obligation to result” telah
dipenuhi apabila negara dengan itikad baik telah memanfaatkan sumber daya
maksimal yang tersedia (maximum available resources) dan telah melakukan
realisasi progresif (progressive realization).
Realisasi progresif yang dimaksud adalah
pemerintah secara berangsur-angsur terus meningkatkan sumber daya yang ada
untuk meningkatkan terus porsi tanggung jawabnya atas perlindungan dan
pemenuhan hak atas pendidikan. Hal ini berarti pemerintah sudah seharusnya
memberi porsi lebih besar dalam penyelenggaraan pendidikan dibandingkan dengan
tanggung jawab yang dipikul oleh warga negara atau masyarakat. Jika perlu,
pemerintahlah yang sepenuhnya bertanggung jawab.
Inilah makna dari pendididikan sebagai hak
asasi manusia. Bangsa Indonesia pun juga seharusnya menempatkan pendidikan
sebagai hak asasi manusia, berdasarkan konstitusinya yaitu UUD 1945. Tentu hal
ini berbeda dengan cara pandang yang menempatkan pendidikan sebagai investasi
dalam artian investasi yang seperti kegiatan ekonomi. Penyelenggaraan
pendidikan seharusnya tidak didasarkan pada hubungan yang kontraktual,
melainkan didasarkan pada pemenuhan hak asasi, pelayanan, pengabdian,
keikhlasan, dan kesukarelaan. Tujuan pendidikan bukan pula sesempit peningkatan
produktivitas ekonomi, melainkan bertujuan untuk memanusiakan manusia, dan
memerdekakan manusia, seperti kata Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara.
Komentar
Posting Komentar