MENGHAPUS WAJIB PRESENSI KULIAH [1]

Oleh : Panji Mulkillah Ahmad [2]



Wajib presensi kuliah adalah peraturan yang sudah lama, dan kebanyakan mahasiswa sudah merasa terbiasa dengan hal itu. Yang namanya mahasiswa, ya kuliah. Jangan bolos. Supaya tidak bolos, dibikin aturan wajib presensi kuliah. Bagi mahasiswa yang presensinya kurang dari batas tertentu, biasanya 75%, konsekuensinya tidak bisa ikut ujian. Maka siap-siap saja si mahasiswa itu tidak mendapat skor, lalu indeks prestasinya jelek, dan mesti mengulang mata kuliah pada semester berikutnya. Saya kira aturan ini terdapat hampir di semua kampus.

Tapi jika dilihat secara historis, aturan wajib presensi kuliah ternyata usianya tidak lama-lama amat. Senior-senior saya pada angkatan 2000-an awal, 90an, 80an, dan seterusnya, pernah bercerita bahwa pada perkuliahan semasa mereka tidak seketat seperti sekarang. Berbeda dengan sekarang, mahasiswa dulu tidak ada kewajiban presensi kuliah. Selama si mahasiswa bisa menyelesaikan ujian dengan baik dan benar, maka tentu si mahasiswa mendapat skor yang tinggi.

Ketika mahasiswa sekarang membayangkan hal itu, barangkali mereka terheran-heran. Bagaimana jika itu terjadi lagi saat ini? Mungkin sebagian orang akan ada yang berbahagia menerima itu, dan sebagian yang lain ada yang menolaknya.

Bagi kalangan aktivis mahasiswa yang punya segudang kesibukan, mungkin mereka akan senang jika wajib presensi kuliah dihapuskan. Mereka tidak perlu lagi bikin surat izin ketidakhadiran, ataupun titip tanda tangan pada teman. Mereka bisa lebih sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi baik itu di dalam maupun di luar kampus.

Bagi kalangan mahasiswa yang tidak niat kuliah pun juga menjadi keberkahan tersendiri. Mereka bisa memanfaatkan ketiadaan wajib presensi kuliah dengan jalan-jalan, ikut berbagai pameran seni, menggeluti hobi yang tidak ada hubungannya dengan kuliah, atau bahkan membuka perusahaan sendiri. Yang penting tetap ikut ujian.

Tapi saya meyakini pasti ada juga orang-orang yang merasa bahwa aturan wajib presensi kuliah itu sudah benar adanya. Bahwa memang aturan tersebut dibuat dan ditegakkan agar mahasiswa menjadi disiplin. Yang namanya mahasiswa, ya kuliah. Jangan bolos.


Perkuliahan Sekedar Formalitas

Apa urgensi kita membahas peraturan tentang wajib presensi perkuliahan? Saya melihat, penerapan dari aturan ini telah membuat kehidupan kampus menjadi terkesan berjalan hanya untuk formalitas. Mahasiswa hadir kuliah bukan karena mereka ingin hadir, tapi karena wajib. Meskipun materi kuliahnya sudah tidak relevan, meskipun cara dosen mengajar cenderung monoton, meskipun si mahasiswa yang duduk di barisan belakang lebih banyak yang tidur atau main gawai, para mahasiswa tetap harus hadir perkuliahan karena itu wajib.

Begitu juga dengan dosen. Ketika si dosen suatu ketika tidak bisa menyelenggarakan perkuliahan karena hal tertentu, biasanya ia akan mengadakan perkuliahan pengganti di lain hari. Apa alasannya? Dapat kita mengerti bersama bahwa dosen pun berkepentingan atas terselenggaranya perkuliahan. Ada uang insentif bagi dosen dari perkuliahan yang berhasil ia selenggarakan. Berhubung ada aturan wajib presensi bagi mahasiswa, maka kapan pun si dosen menyelenggarakan perkuliahan, si mahasiswa akan hadir.

Ketika kehidupan kampus berjalan sekedar formalitas, maka tujuan dari perkuliahan adalah untuk sekedar terselenggaranya perkuliahan. Atau istilah kasarnya, supaya kampus tetap ngapa-ngapain. Tentu kita bersyukur masih ada dosen dan mahasiswa yang mau sungguh-sungguh belajar dalam perkuliahan. Tapi tidak sedikit pula dosen dan mahasiswa yang tidak sungguh-sungguh, dan sekedar menjalani kewajiban. Si dosen pun menjadi tidak termotivasi untuk mengembangkan bahan ajar dan metode ajarnya. Seringkali bahkan si dosen bukannya mengajar, malah menceritakan hal-hal yang tidak relevan dengan mata kuliah, sekedar untuk membunuh durasi.

Wajib hadir kuliah bagi mahasiswa ini diharapkan mahasiswa agar cepat lulus. Mahasiswa didorong untuk hanya berfokus pada urusan studi akademiknya, dan bukan yang lain semisal berorganisasi dan ikut serta dalam advokasi isu-isu rakyat. Ketika fokus, maka bisa cepat lulus.

Percepatan kelulusan mahasiswa ini merupakan bagian dari proyek Indonesia dengan World Bank yang bernama Indonesia-Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (I-MHERE). Dalam website resmi World Bank dipaparkan bahwa proyek ini dimulai sejak 9 Juni 2005 dan berakhir pada 31 Desember 2012. Pendanaan total proyek ini adalah 114,54 juta USD, dengan nilai komitmen sebesar 80 juta USD, dalam bentuk bantuan dana (grant) dan pinjaman (loan).[3] Adapun yang menjadi tujuan dari proyek ini adalah menciptakan keadaan yang memungkinkan bagi perkembangan akuntabilitas dan otonomi institusi perguruan tinggi negeri, dan untuk mengembangkan mekanisme pendukung yang efektif bagi perbaikan kualitas, relevansi, efisiensi, dan pemerataan pendidikan tinggi.[4]

Salah satu target proyek I-MHERE adalah berkurangnya waktu yang dibutuhkan bagi mahasiswa untuk lulus sebesar 10%, atau dengan kata lain menjadi 54 bulan (atau 9 semester), bagi mahasiswa yang berada di perguruan tinggi penerima dana hibah. Tadinya waktu rata-rata kelulusan adalah 56,7 bulan pada tahun 2009. Laporan proyek I-MHERE ini kemudian menyebutkan pada tahun 2012, target ini terpenuhi dengan capaian waktu rata-rata kelulusan 51,6 bulan.[5]

Saya tentu tidak mempermasalahkan jika ada mahasiswa yang memang lulus dengan tepat waktu, atau bahkan lebih cepat daripada yang mahasiswa yang lain. Tapi manakala percepatan kelulusan itu seperti seolah dipaksakan dari luar, dan bukan dari kemampuan dan keinginan mahasiswa itu sendiri, maka percepatan kelulusan hanya akan memperbanyak jumlah sarjana tanpa menjamin kualitasnya. Kuliah sekedar kuliah, dan lulus sekedar lulus.

Menghapus Wajib Presensi Kuliah

Saya mengusulkan agar wajib presensi kuliah dihapus. Usulan ini bukan berasal dari saya semata. Jauh sebelum saya, tentu sudah banyak yang mengusulkan ini. Dasar pikir saya mengusulkan ini sudah jelas, yaitu untuk membebaskan kampus dari bahaya formalitas belaka. Dengan dihapuskannya wajib presensi kuliah, ada beberapa manfaat yang muncul daripadanya.

Dari segi dosen, dengan dihapuskannya wajib presensi kuliah akan membuat dosen termotivasi untuk mengembangkan bahan ajar dan metode ajarnya. Sebab bila perkuliahan yang ia selenggarakan cenderung monoton dan tidak inovatif, maka dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh mahasiswanya. Termotivasinya sang dosen dalam mengembangkan mutu perkuliahannya, tentu akan berimbas langsung kepada mutu kampus itu sendiri. Mau tidak mau kampus akan menjadi tempat yang sibuk bukan hanya sekedar formalitas perkuliahan, tapi juga tempat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sebagai tambahan, dosen juga dapat menggunakan taktik tertentu agar mahasiswanya mau menghadiri perkuliahannya, semisal mengadakan kuis secara dadakan. Meskipun porsi skor kuis itu tidak terlalu besar, tapi sebagian besar mahasiswa tidak mau melewatkan kesempatan untuk mengikuti kuis agar bisa memperoleh skor tambahan. Bisa juga sang dosen melibatkan mahasiswa di perkuliahannya untuk menyusun kerangka bahan ajar dan metode ajar secara bersama-sama. Lewat partisipasi semacam itu, maka ruang kuliah menjadi bukan hanya milik dosen semata, melainkan juga milik para mahasiswa. Mahasiswa bisa ikut merancang perkuliahan macam apa yang mereka inginkan, semisal dengan metode nonton film, membaut arena debat, kuliah di alam terbuka, kuliah di masyarakat, dan sebagainya. Perkuliahan akan menjadi ruang yang untuk mengimplementasikan demokrasi sehari-hari.

Bagi mahasiswa tentu hal ini akan membuat mahasiswa menjadi lebih bebas. Keputusan akan menghadiri kuliah atau tidak, akan bersumber dari niat mahasiswa itu sendiri, dan bukan paksaan dari luar. Mahasiswa yang memang berminat pada perkuliahan akan dengan sukarela menghadiri perkuliahan itu. Bagi yang memang memiliki kesibukan di luar, maka ia juga bisa secara bebas meninggalkan perkuliahan tanpa ada semacam kekangan atau bayang-bayang ketakutan tidak bisa ikut ujian.

Tapi apakah dengan dihapusnya wajib presensi kuliah, maka kuliah akan cenderung sepi karena ditinggalkan mahasiswanya? Tidak juga. Jika sang dosen juga punya niat untuk memperbaiki mutu perkuliahannya, diskusi semakin hidup di ruang kuliah, selalu ada hal baru di perkuliahan, dibukanya partisipasi mahasiswa dalam merumuskan bahan dan metode ajar, maka mahasiswa akan dengan sendirinya meramaikan perkuliahan itu. Dan perlu dicatat bahwa datangnya mahasiswa ini tentu bukan karena formalitas, bukan karena sekedar wajib hadir, tapi karena kesukarelaan dan keinginan mereka sendiri.

Penutup

Aturan wajib presensi kuliah ternyata tergolong baru. Karena dulunya mahasiswa memang tidak diwajibkan untuk hadir kuliah, yang penting ikut ujian. Dengan adanya aturan wajib presensi kuliah, mahasiswa menjadi sulit dalam mengikuti kegiatan di luar kuliah semisal berorganisasi dan bermasyarakat. Perkuliahan pun pada akhirnya berjalan sekedar formalitas, karena tuntutan kewajiban. Dosen juga tidak termotivasi untuk mengembangkan bahan dan metode ajarnya. Dengan menghapus wajib presensi kuliah, maka belenggu formalitas itu akan terlepas, mahasiswa dan dosen pun akan terbebaskan. Dosen menjadi termotivasi untuk mengembangkan bahan dan metode ajar. Mahasiswa pun akan lebih mengapresiasi kuliah karena mereka hanya akan datang dengan rasa kesukarelaan dan keinginan mereka sendiri.

------------------------------
[1]. Ditulis pada 17 Mei 2018, untuk publikasi media FMN Yogyakarta. Tulisan ini boleh disebarluaskan di media mana pun dengan seizin penulis dan FMN Yogyakarta

[2]. Staf Departemen Organisasi FMN Cabang Yogyakarta, penulis buku Kuliah Kok Mahal?

[3]. http://projects.worldbank.org/P085374/higher-education-relevance-efficiency?lang=en&tab=overview

[4]. World Bank, Project Appraisal Document on a Proposed Loan and a Proposed Credit to The Republic of Indonesia for a Managing Higher Education for Relevance and Efficiency Project, 17 Mei 2005, hlm 13.
http://documents.worldbank.org/curated/en/397131468260378454/pdf/31644.pdf

[5]. World Bank, Implementation Completion and Results Report on a Loan in the Amount of US$50.00 Million and a Credit in the Amount of SDR 19.85 Million (US$30 Million Equivalent) to the Republic of Indonesia for a Managing Higher Education for Relevance and Efficiency Project, June 25, 2013. 
http://documents.worldbank.org/curated/en/139941468039051518/pdf/ICR23790P0853740Box0377384B00PUBLIC0.pdf 

Komentar

Postingan populer dari blog ini